Kamar Mawar


Terlekat karat-karat warisan manusia, kerap kali dalam akrobat dialektika, sang pendengung tidak menyadari sedang mengharap gali lubang tanah tersiratnya sendiri. Daun lontar sang pendongeng cenderung memperkarat kalimat-kalimat tersuratnya sendiri. Mengapa itu kecenderungan korosi? Karena (memper)sukar arti, kendatipun Hortensia pernah berkata “kita ini mati”. Maka dalam esai kilat ini berdiri, Hortensia mengekspansi kesukaran dalam memahami kematian itu sendiri.

Sebuah daun lontar tersurat kalimat “Maha Pencipta, tentunya mampu mencipta di atas diri-Nya.”. Sungguh, bagaimanapun juga, Hortensia mustahil mengetahui hakikat dari pernyataan sebelumnya. Namun, Sang Maha Pencipta, tentunya tidak menciptakan semesta alam ini dengan sia-sia.


اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَاۚ فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ ٤٦

Afalam yasīrū fil-arḍi fa takūna lahum qulūbuy ya‘qilūna bihā au āżānuy yasma‘ūna bihā, fa innahā lā ta‘mal-abṣāru wa lākin ta‘mal-qulūbul-latī fiṣ-ṣudūr(i).

Tidakkah mereka berjalan di bumi sehingga dengan hati (jantung) mereka dapat mengakalkan atau dengan telinga mereka dapat mendengar? Sesungguhnya tidaklah mata (pandangan) itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati (jantung) yang berada dalam dada.


Ayat ke-46 dalam surah Al-Ḥajj dengan tegas menyuratkan betapa pentingnya mengikat dua organ substansial insan dalam berupaya memahami sesuatu. Otak kranial mengikatkan otak-jantung yang cenderung menggebu dalam memengaruhi otak kranial. Hubungan dinamis berkesinambungan ini saling berkorelasi terhadap semesta alam. Sehingga dalam paradigma ini, istilah akal kurang tepat dimaknai sebagai alat/benda, akal tepat bila dimaknai sebagai aktivitas/kerja mengakalkan.

Akibat lemahnya belenggu kecenderungan hati, dari hati itu mengiramakan inti, dan inti pikiran tidak tahu segala arah yang pasti. Maka tidak perlu terheran-heran terhadap kalimat tersurat yang sesuka hati, karena itu karat hati, yang tidak sedikit pun berguna dalam mencapai kebenaran sejati.


وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّجَادِلُ فِى اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَّيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطٰنٍ مَّرِيْدٍۙ ٣

Wa minan-nāsi may yujādilu fillāhi bigairi ‘ilmiw wa yattabi‘u kulla syaiṭānim marīd(in).

Di antara manusia ada yang saling memperdebatkan tentang Allah tanpa pengetahuan (yang memadai) dan (hanya) mengikuti setiap (kecenderungan hati) setan yang sangat durhaka.


Ayat ke-3 dalam surah Al-Ḥajj menegaskan sekaligus memperingatkan manusia akan mara bahaya paradigma-paradigma semu. Sebab, ilmu pengetahuan yang tidak komprehensif dan lemah dalam membelenggu kecenderungan hati (jantung) akan kecenderungan membuat keputusan-keputusan yang keliru. Pengaruh perikatan yang kurang harmonis terhadap semesta alam ini dikenal sebagai karakter/sifat setan yang identik mengakali, daripada mengakalkan dalam kemasyarakatan.

Alhasil dari mengungkai “kita ini mati”. Maka kita dapat mengidentifikasi, kemudian introspeksi, dari kalimat-kalimat tersurat yang sesuka hati. Kalimat pernyataan mengenai “Maha Pencipta, tentunya mampu mencipta di atas diri-Nya.” mengecoh kita dalam berpikir, dengan membuat dilema palsu. Penyalahgunaan bahasa yang kanibal ini saling memakan ketika hanya disajikan dua pilihan, hasil, atau sisi sebagai satu-satunya kemungkinan; kemampuan; atau kepastian. Sisi “Maha” terbentur dengan “di atas diri-Nya” yang sejati “Maha”, dan sisi “Pencipta, tentunya mampu mencipta” yang prinsipiel “Maha” menyuratkan suatu kemampuan yang secara tersirat terbentur dengan kausalitas semesta alam. Sebab, “mencipta” suatu ciptaan ini identik dengan pergerakan atau perubahan, yang dikenal sebagai istilah waktu. Masa lalu, masa sekarang, dan masa depan ialah label keadaan.

Analogi kontras dua konsep pen’cipta’an ini bagai berkas .png opasitas nol persen yang merupakan suatu ketidaktertembusan (maha) yang terbaca dari pemutar media (semesta alam). Karena kita ini sedang terhalang dengan pengindraan dari pemutar media, mustahil untuk mengetahui hakikat dari berkas itu sendiri diam atau bergerak; nyata atau khayal; terjangkau atau ternihilkan. Namun, karena pemutar media ini sengaja dikonfigurasi dengan kausalitas linear berubah-ubah, kita ini mengetahui secara konsep bahasa bahwa berkas itu yang awal dan yang akhir; yang nyata (secara tersirat karena membaca berkas); yang tidak terjangkau (hakikat berkasnya) semata-mata dengan mengindra.


اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ ١ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ ٢ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ ٣ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ ٤ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ ٥ كَلَّآ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَيَطْغٰىٓ ۙ٦ اَنْ رَّاٰهُ اسْتَغْنٰىۗ ٧ اِنَّ اِلٰى رَبِّكَ الرُّجْعٰىۗ ٨ اَرَاَيْتَ الَّذِيْ يَنْهٰىۙ ٩ عَبْدًا اِذَا صَلّٰىۗ ١٠ اَرَاَيْتَ اِنْ كَانَ عَلَى الْهُدٰىٓۙ ١١ اَوْ اَمَرَ بِالتَّقْوٰىۗ ١٢ اَرَاَيْتَ اِنْ كَذَّبَ وَتَوَلّٰىۗ ١٣ اَلَمْ يَعْلَمْ بِاَنَّ اللّٰهَ يَرٰىۗ ١٤ كَلَّا لَىِٕنْ لَّمْ يَنْتَهِ ەۙ لَنَسْفَعًاۢ بِالنَّاصِيَةِۙ ١٥ نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍۚ ١٦ فَلْيَدْعُ نَادِيَهٗۙ ١٧ سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَۙ ١٨ كَلَّاۗ لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ ۩ ࣖ١٩

Iqra’ bismi rabbikal-lażī khalaq(a). Khalaqal-insāna min ‘alaq(in). Iqra’ wa rabbukal-akram(u). Allażī ‘allama bil-qalam(i). ‘Allamal-insāna mā lam ya‘lam. Kallā innal-insāna layaṭgā. Ar ra’āhustagnā. Inna ilā rabbikar-ruj‘ā. Ara’aital-lażī yanhā. ‘Abdan iżā ṣallā. Ara’aita in kāna ‘alal-hudā. Au amara bit-taqwā. Ara’aita in każżaba wa tawallā. Alam ya‘lam bi’annallāha yarā. Kallā la’il lam yantah(i), lanasfa‘am bin-nāṣiyah(ti). Nāṣiyatin kāżibatin khāṭi’ah(tin). Falyad‘u nādiyah(ū). Sanad‘uz-zabāniyah(ta). Kallā, lā tuṭi‘hu wasjud waqtarib.

Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu yang menciptakan! (Dia) menciptakan insan dari segumpal darah. Bacalah! Rabb-mu-lah Yang Maha Mulia, yang mengajarkan dengan kalam (fenomena; bahasa). (Dia) mengajar insan apa yang tidak mereka ketahui. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya insan itu benar-benar melampaui batas begitu melihat (diri)-nya serba berkecukupan. Sesungguhnya hanya kepada Rabb-mu-lah tempat kembali (segalanya). Tahukah kamu yang melarang hamba apabila (dia melaksanakan) salat? Bagaimana pendapatmu jika dia berada di atas petunjuk (kebenaran) atau dia mengajak bertakwa (kepada Allah)? Bagaimana pendapatmu jika dia benar-benar mendustai dan dia berpaling (dari kebenaran)? Tidakkah dia mengetahui bahwa Allah melihat (segala perbuatannya)? Sekali-kali tidak! Sungguh, jika dia tidak menghentikan (perbuatan)-nya, niscaya Kami tarik dengan ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun (lobus frontal) yang mendustakan (kebenaran); menyengaja salah. Biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolong). Kelak Kami akan memanggil Zabaniah (yang menyiksa). Sekali-kali tidak! Janganlah mematuhinya, (tetapi) sujud dan mendekatlah (kepada Allah)!