Neraca Seika


Seiring mekarnya rasio manusia, telah menjadi kaidah budi luhur bahwa tanpa definisi [yang logis], kita tidak akan pernah dapat sampai pada konsep. Namun, cukupkah definisi-definisi yang logis itu saling koheren hingga mencapai kebenaran harmonis? Karena definisi itu menurut tiap-tiap individu pastilah relatif, kendatipun produk konsensus inisiatif. Maka dalam esai mesra ini sendiri, Hortensia mengungkai paradigma semu dalam memahami kekisruhan kehidupan sungguh lestari.

Lantaran kehidupan ini bagaikan permainan dan senda gurau, singgah makan dan minum, kita ini kecenderungan bodoh. Meskipun berpikir, lalu berpikir, dan terus berpikir, Hortensia makin percaya bahwa benar-benar bodoh. Merasa hidup semata-mata mampu bergerak dengan kehendak bebas, padahal kita ini mati, kendatipun berakal budi. Lihatlah di pekarangan, mereka tumbuh berkembang. Berceranggah menghadap ke segala arah, dari sari pati tanah hingga berbunga dan berbuah.

Lantas, bagaimana dengan sang pewaris fauna? Tidakkah kita ini cenderung terlena? Mudah hanyut akan prestise buana ketika estetika merambak kemari hampa akan makna. Cinta tiada kasih, berada cinta kasih, tiada belas kasih. Sayang dalam bayang-bayang, meraba-raba dalam kelamnya malam. Tidak melulu acara asmara, muluk-muluk perkara pura-pura. Mula, berbekal logika bahasa semata, kita ini kecenderungan buta. Maka selaku insan yang halus, sudah seyogianya tulus menyelaraskan cinta-kasih-sayang (l’amour) sekaligus rasio hingga meniti pada cahaya-Nya yang lurus.